Karya Guru

Sepatu untuk Diana (Pembelajaran tentang EQ)

Cerpen: Karya Kepala SMK Negeri 1 Rambang Dangku

Sepatu untuk Diana (Pembelajaran tentang EQ)

Tahun 2015 aku menjadi wali sebelas Pariwisata; kelas yang baru kuajar beberapa bulan, karena saat di tingkat sepuluh aku memang tidak mengajar mereka. Di akhir bulan aku merekap presensi perwalianku, memastikan mereka baik-baik saja. “Keren,” sahutku dalam hati. Bulan September  sekilas kulihat rekap kehadiran mereka cukup baik, hampir tidak ada huruf-huruf yang kubenci menempel di kertas bergaris tersebut alias mendekati nihilawati, hehehe.  I, S, apalagi A tidak muncul sama sekali, namun saat mata sipitku  dan kepalaku memutar perlahan menyusuri tiap sudut kelas, Diana yang biasanya duduk di kursi paling belakang tidak tampak.

“Sumi, Diana Mana?” tanyaku pada ketua kelas.

Gak ada kabar Ser (Ser, panggilan kesayangan siswaku),” jawab Sumi yang duduk  persis di depanku.

“Ser  boleh bicara empat mata,” tanya Sumi lagi.

Tentu saja aku langsung setuju dan meminta Sumi datang ke ruanganku saat istirahat.

***

“Iya Sumi apa yang bisa Ser bantu,” tanyaku pada Sumi yang duduk di  samping meja kerjaku.

Aku sengaja meletakan kursi di sampingku agar Sumi tidak kikuk dan tidak merasa sedang diinterogasi olehku.

“Sudah lama Ser Sumi ingin bicara tentang Diana, Sumi kasihan liat Diana,” ungkap Sumi dengan wajah sedikit menunduk.

“Ok, ceritakan,” jawabku singkat.

“Sejak kelas sepuluh sepatu Diana sudah robek Ser, dan sekarang.........” Tentu saja bisa kubayangkan keadaan sepatu Diana saat ini. “Dia juga tidak pernah jajan di kantin Ser,” lanjut  Sumi sambil menghela nafas.

Aku terdiam sejenak.

Beberapa detik kemudian kepalaku  dipenuhi beberapa  ide..

“Sumi gimana kalau kamu mengunjungi rumah Diana?” Rumahnya kan cukup dekat, karena ser perhatikan Dia selalu berjalan kaki ke sekolah.” pintaku pada Sumi yang langsung mengiyakan perintah bossnya ini.

“Sumi sendirian aja ya ke sana dan jangan lupa jaga perasaannya, jangan sampai dia merasa tersinggung,” pintaku.

“Baik Ser”.

“Pokoknya kamu perhatikan keadaan Diana ya, nanti Ser tunggu laporanmu, ok.” Lanjutku sambil tersenyum.

“Baik Ser, Sumi izin langsung ke kantin ya Ser. Bergegas meninggalkan ruanganku.

***

Beberapa hari kemudian, Sumi kembali menemuiku, menceritakan hasil surveinya ke rumah Diana.

Ser, Diana  tinggal di kontrakan kecil.  Ibunya buruh cuci di beberapa rumah guna memenuhi kebutuhan sehari-hari,” Sumi menghela nafas.

Lho ayahnya di mana,” tanyaku penasaran.

“Sudah lama meninggal Ser,” jawab Sumi, matanya berkaca-kaca.

“Diana mempunyai dua adik yang  bersekolah di SD depan rumahnya. Karena ibunya sudah pergi bekerja sejak subuh. Diana mengurus kedua adiknya. Memandikan, menyiapkan  seragam, sampai memastikan adiknya berada di sekolah.” Jelas Sumi sambil mengusap air mata  mengalir di kelopak matanya.

“Sungguh Diana anak yang bertanggung jawab ya.” Tambahku.

Iya Ser”.

“Jatah limabelas ribu rupiah yang diletakkan ibunya setiap pagi di atas meja hitam kumal, diberikan Diana kepada kedua adiknya masing-masing limaribu. Kakak yang sangat baik itu lalu membeli lima buah kue dari uang yang seharusnya menjadi jatahnya untuk sarapan kedua adiknya. Dua buah kue diberikan kepada masing-masing adiknya. Membuatnya bisa tenang pergi ke sekolah hanya dengan memakan sisa satu kue dan segelas teh manis.”

Sebagai guru dan  ayah tiga anak, matakupun mulai berkaca-kaca mendegar cerita Sumi.  Aku berpura-pura batuk menyembunyikan baperku di depan Sumi.  “Sum bagaimana kalau kita membelikan sepatu Diana?”

“Setuju Ser, ada empatratus ribu uang kas kelas yang kami kumpulkan sejak kelas sepuluh,” jawab Sumi gembira.

“Nah  bagus ini,” jawabku singkat.

“Kebetulan Ser, Senin depan Diana berulang tahun, berarti waktu yang tepat  memberikan hadiah padanya,” jelas Sumi padaku.

“Setengah dari uang kas, boleh Sumi pakai  membeli sepatu Diana, sisanya disimpan, siapa tahu nanti ada yang perlu kalian bantu lagi,” jelasku pada Sumi.

“Dengan hadiah kecil itu, paling tidak kalian turut menyemangati Diana dalam menghadapi kesulitan hidupnya. Dia melangkah maju bersama kalian, tidak merasa sendiri dan tahu bahwa teman sekelasnya sangat menyayangi dan ingin dia terus gigih belajar agar kelak  bisa membantu ibunya,” tambahku.

Kepedulian.

Aku duduk terhenyak di kursi empukku. Tidak nyaman rasanya menikmati  makan siangku tatkala ingat peristiwa yang baru saja kudengar dari ketua kelas perwalianku. Tapi aku bersyukur masih banyak siswaku yang perduli dengan teman mereka yang mengalami kesulitan. Kejadian ini benar-benar mengalarm hatiku agar semakin  peka  terhadap keadaan siswa-siswaku.  Sebagai pendidik memang seharusnya aku lebih peduli.

***

Hari Senin setelah upacara, sesuai rencana aku langsung ke kelas Sumi untuk memberi kejutan kecil pada  Diana yang sedang berulang tahun.

“Selamat ulang tahun kami ucapkan... Selamat ulang tahun......kita kan doakan....”

Serentak siswa bernyanyi walaupun tanpa dirigen mengomandoi.

Diana menangis terharu saat seluruh siswa mengucapkan “Selamat Hari Lahir” beberapa siswa putri memeluk Diana dan bersamaan dengan itu Sumi langsung memberikan kado kecil kepadaku agar disampaikan kepada Diana, lalu semua bertepuk tangan.

Diana yang terkenal sangat pendiam ternyata juga memberikan kejutan, dia berdiri dan berbicara..

“Untuk Ser dan teman-teman... Aku sangat bangga pada kalian, selama ini aku merasa sendiri  mengatasi segala kesulitanku. Ternyata aku tidak sendiri, kalian sangat peduli dan menyayangiku. Terimakasih Ser, terimakasih teman-teman.

Sejak hari itu, kami semua kelas Sebelas Pariwisata di bawah perwalianku bertambah kompak terutama dalam hal mendukung Diana. Beberapa kali aku menemukan Sumi dan siswa lainnya sedang duduk menikmati jajanan di kantin bersama Diana saat istirahat. Sumi pun memicingkan mata kirinya padaku. Aku tau maksudnya, “Ser gak usah khawatir lagi, Diana akan ada di kantin setiap istirahat bersama kami”.

Tentu saja aku tersenyum dan bangga pada Sumi dan teman-temannya. Aku bahkan sangat-sangat bangga. Empati dan keikhlasan berbagi pada sesama adalah bentuk implementasi real  kecerdasan emosional, EQ  tingkat tinggi.

Pembelajaran dari Sumi, sosok ketua kelas luar biasa  menyadarkanku agar  selalu peka kepada semua anak yang kubimbing. Mereka yang menampakkan mimik kurang  ceria atau pendiam sejatinya diberi atensi dan pendekatan tersendiri guna memastikan mereka baik-baik saja. Beberapa dari mereka memang pendiam karena sifat atau karakter tapi ada juga siswa yang  pendiam karena memendam perasaan yang berkecamuk menghadapi persoalan yang cukup berat. Mungkin mereka diam karena itulah pemecahan terbaik.

***

Tiga tahun setelah kejadian itu, saat menghadiri  acara seminar Pariwisata di hotel berbintang. Aku bertemu kembali dengan Diana, kini bekerja sebagai resepsionis di bisnis pelayanan hospitality  bintang empat tersebut. Kepompong bermetamorposis menjadi kupu-kupu indah. Memakai blezer hitam dengan rambut disanggul rapi, Diana tampak smart dan percaya diri.  Aku tersenyum bahagia saat mataku menatap ke arah langkah sepatu high heel, tak-tok-tak-tok bunyinya bersemangat yang dipakai Diana, hitam dan mengkilap.

Beberapa menit, sempat berbincang bersamanya  di lobi sambil menikmati  kopi hangat Semende  beraroma khas  hitam pekat. Srruppp, hahaha  aku jadi membayangkan melintas di antara jalanan dari Tanjung Agung lalu air terjun Bedegung Sugiwaras menuju tanjakan perbukitan yang kiri kanannya berbaris pohon-pohon kawe/kopi. Terbayang juga ibung-ibung (Ibu-ibu) sedang menjemur hasil panen berwarna hitam karena buah-buah kecil merah itu dihamparkan di jalanan dan dinjak-injak oleh mobil yang silih berganti menuju bukit nan hijau. (jadi kayak iklan terselubung ya, hehe)

“Gimana kabar kedua adikmu Naak,” aku membuka pembicaraan.

“Mereka tetap bersekolah Ser, Yudi kelas delapan, Beni  kelas enam dan aku di semester dua  jurusan Bahasa Inggris Universitas Terbuka Ser,” jawabnya.

Wow that’s good,” pujiku.

“Iya Ser, memulai karier, bantu Mama juga. Mama mulai sakit-sakitan. Aku ingin  adik-adik bisa melanjutkan pendidikan setinggi mungkin, agar apa yang dialami  mama tidak terjadi pada anak-anaknya.

Duaribu, mungkin receh bagi sebagian orang, tetapi jika dikumpulkan dari puluhan, ratusan bahkan ribuan kontribusi tangan-tangan tulus akan menggunung menjadi jumlah yang tidak sedikit. Masih banyak Diana-Diana lainnya yang hidup di lorong-lorong kumuh, rumah-rumah kontrakan mini dan tempat-tempat lainnya yang mungkin tidak pernah kita tahu. Mereka  butuh uluran tangan kita. 

Penulis: Junaidi Juned