Keajaiban itu Ada, Jika Kau Percaya
By: Dian Tri Artika
Email: diantriartika12@gmail.com
"Bu
dompet Ayah di mana ya?" Mas Widi
berteriak dari kamar. "
Dalam laci meja rias Yah." Jawabku teriak juga
tak mau kalah.
Pagi
ini suasana rumah
lumayan gaduh karena hari ini jadwal putraku terapi. Tama
adalah seorang anak berkebutuhan khusus (ABK). Dia mengalami
kesulitan berkomunikasi dua arah dan belum mampu beraktivitas
sehari-hari secara mandiri.
Saat berusia
sekitar dua tahun, dia hanya mampu berbicara satu, dua kata, seperti
"apa" "Mama" dan "Ayah".
Tiga kali
seminggu kami rutin ke rumah sakit umum di kota Muara Enim
mengantar Tama terapi. Supaya anak
kesayanganku nyaman selama perjalanan yang ditempuh lebih dari dua setengah
jam, suamiku terpaksa meminjam dulu kendaraan roda empat milik mertuaku.
“Tama tenang ya Yah.”
“Iya sepertinya Dia belum terbiasa bepergian menggunakan
travel atau bis umum, seperti minggu lalu.”
“Iya, tidak rewel lagi ya seperti saat naik kendaraan
umum,” tambahku.
Awal mengetahui
putraku berkebutuhan
khusus adalah ketika anak sulung kami tersebut mengalami demam. Saat itu aku
membawanya berobat ke puskesmas
Rambang Niru dekat rumahku.
Di sana aku mengeluhkan gejala seperti kesulitan berkomunikasi, berjalan
belum lancar dan sering terjatuh, berat badannya yang diam ditempat dan sangat kurus
untuk anak seusianya.
Petugas kesehatan di
puskesmas menyarankan supaya kami membawa anak kesayanganku ke rumah sakit umum di kota Muara Enim yang berjarak lebih kurang 100
kilometer dari desa, guna menemui dokter
spesialis tumbuh kembang anak
agar lebih jelas permasalahannya dan tepat penanganannya.
Beberapa hari setelah itu, saat kondisi Tama sudah
membaik kamipun berangkat ke rumah
sakit umum di kota Muara Enim.
Pagi itu kami telah tiba di rumah sakit umum dan
melakukan pendaftaran, lalu diarahkan antri di bagian tumbuh kembang anak. Tidak
banyak pasien saat itu, jadi tak lama menunggu nama Tamapun dipanggil. Di ruangan ada seorang dokter wanita paruh baya
berhijab duduk di belakang meja kerjanya didampingi seoarang perawat.
Tanpa basa-basi aku menceritakan semua keluhan yang dialami anakku. Dokter
menyimpulkan bahwa Tama mengalami speach delay atau keterlambatan
dalam berbicara. Penanganan yang bisa dilakukan adalah melakukan terapi wicara.
Dokter memberikan tawaran apakah kami mau melakukan terapi di sana, tanpa
berpikir panjang aku dan suamipun menyetujuinya.
Selesai berkonsultasi, kami
diminta menemui dokter spesialis anak, memeriksakan kondisi kesehatan Tama, karena berat
badannya yang berada sangat jauh di
bawah rata-rata berat ideal. Kami langsung
ikut antrian di depan ruangan spesialis anak yang saat
itu antrian lumayan panjang.
"Lagi musim anak sakit ini Yah". Ucapku
lirih di sebelah suami. Suamiku hanya mengangguk pelan tanpa berkata apapun.
Kurang lebih satu jam menunggu akhirnya nama Tama dipanggil masuk ke
ruangan seorang dokter yang
sudah menunggu bersama asistennya.
"Sakit apa Bu anaknya?" Tanya dokter itu
dengan ramah.
"Berat badannya susah naik Dok dan sangat kurang dari
seharusnya." Jawabku singkat.
Dokter tersebut
langsung melakukan pemeriksaan terhadap Tama. Dia meraba bagian leher atas dan belakang
telinga Tama, di sana ada benjolan kecil.
Dokter menunjukkan benjolan itu sambil berkata
"Bapak Ibu ini ada benjolan di sini, saya curiga Adek ini mengalami sakit
di bagian paru-paru. Untuk lebih jelasnya bagaimana kalau kita lakukan rontgen."
Aku dan suami langsung setuju. Setelah itu kami di arahkan ke ruangan rontgen.
Selama menunggu, aku rasanya masih tidak
percaya kalau Tama sakit paru-paru karena selama ini dia tidak pernah
mengalami sesak napas atau sejenisnya. Saat pikiranku melayang-layang, seorang
perawat keluar ruangan dan mengajak kami
masuk.
Sebelum melakukan rontgen perawat bertanya
apakah aku hamil atau tidak, karena sinar rontgen berbahaya untuk janin.
Tak lama proses rontgen tersebut berlangsung kemudian kami diminta menunggu hasilnya.
Sambil menunggu hasil rontgen, pikiranku kembali
berkelana. Saat itu sudah menunjukkan lewat tengah hari. Kira-kira tiga puluh
menit kami menunggu hasil rontgen selesai dan kami langsung membawanya ke dokter
spesialis anak untuk dibaca. Kebetulan tidak ada antrian di depan ruangan tersebut, jadi kami
langsung diminta masuk menemui dokter.
Dokter meminta
foto rontgen Tama dan mengamati hasilnya.
"Bapak dan Ibu ini gambar paru-paru Adek, di sini
ada titik hitam yang menandakan bahwa terdapat plek di paru-parunya." Dokter
menjelaskan dengan hati-hati kepada kami.
"Bagaimana penyembuhannya Dok?" Tanyaku singkat.
"Adek harus konsumsi obat setiap hari selama enam
bulan, jangan pernah terputus minumnya dan harus tepat jam enam pagi. Jika
terputus atau tidak tepat waktu satu kali saja, maka harus
mengulang dari awal lagi minum obatnya." Dokter menjelaskan sambil
menuliskan resep obatnya.
Pedih rasanya hati ini seperti tersambar petir, belum
selesai dengan masalah terapi wicaranya
sudah muncul ujian baru bahwa anak kesayanganku harus minum
obat paru-paru setiap hari.
"Ya Allah kasihan anakku, dia masih sangat kecil.
Tolong berikanlah kesembuhan untuknya, kasihan anakku ya Allah." Ratapku dalam
hati dengan bibir bergetar dan air mata
mengalir dari sudut kelopak mataku.
Karena waktu sudah sore setelah mengambil obat, kami memutuskan pulang
ke rumah dan melanjutkan lagi esok hari untuk membuat jadwal terapi dan menemui
satu dokter sepesialis lagi. Itu adalah hari yang cukup melelahkan dan menguras
emosi serta pikiranku dan suami.
Sepanjang malam diam-diam aku menangisi nasib yang
dialami oleh putraku. Hancur rasanya hati ini melihat si kecil yang saat itu
belum mengerti apa-apa harus mengalami ini semua.
Keesokan harinya tepat jam enam pagi aku dan suami
bekerja sama meminumkan obat kepada putraku,
pil berbentuk tablet warna merah dengan ukuran lumayan
besar.
Suamiku melarutkan obat tersebut di dalam satu sendok air
putih dan lansung meminumkannya kepada Tama. Karena rasanya
tidak pahit jadi tidak sulit memberikannya kepada Tama.
"Ini akan menjadi rutinas pagi kami selama enam
bulan." Pikirku dalam hati.
Setelah itu kami pun bergegas berangkat ke Muara Enim memastikan jadwal terapi dan menemui satu dokter spesialis lagi,
aku lupa apa namanya.
Sesampainya di rumah sakit aku langsung mendaftar dan
diarahkan ke lantai dua menuju ruang terapi dan dokter spesialis yang harus di temui. Ada beberapa
pasien yang sudah menunggu di depan ruangan itu.
Sambil menunggu aku coba mengobrol dengan seorang ibu
yang duduk persis di sebelahku, dia mengendong anak dipangkuannya dengan kain gendongan.
"Anaknya terapi juga ya Bu?" Tanya ku ramah.
"Iya." Jawab wanita paruh baya itu
dengan singkat.
"Apa keluhan anak Ibu?" Dia balik bertanya
kepadaku.
Aku langsung menjelaskan semua keluhan yang dialami anakku
kepadanya panjang lebar.
"Tapi Adek
ini sudah bisa jalan ya?" Tanyanya lagi.
"Sudah Bu sedikit-sedikit" jawabku singkat.
"Mending anak Ibu
sudah bisa jalan, anakku ini jangankan berjalan, duduk saja belum bisa. Semua badannya lemas, hanya bisa
tiduran saja." Ibu itu menjelaskan kondisi anaknya.
Seorang gadis
mungil cantik yang untuk mengangkat kepalanya
saja tidak mampu, terkulai lemas dalam
pelukan kasih murni seorang ibu.
Mukaku saat itu seperti ditampar sekeras-kerasnya,
kemarin aku sempat kufur nikmat ya Allah. Aku
merasa Allah sudah jahat kepada anakku dan aku juga merasa menjadi orang yang paling menderita di dunia.
“Ha”, Ternyata masih
ada orang yang lebih susah dan menderita. Jika aku menjadi ibu anak tadi, rasanya aku belum sanggup
ya Allah."
“Astaghfirullah." Aku berkali-kali beristighfar
meminta pengampunan sang Maha adil.
Tidak lama
setelah Bu Aisyah, panggilanku padanya dan malaikat kecil itu masuk ke ruangan terapi. Air mata yang sedari
tadi aku tahan meluncur perlahan
disudut kelopak mataku, segera aku mengusapnya dengan ujung jilbabku.
Kami menunggu cukup lama mungkin sekitar satu setengah
jam dan akhirnya dipanggil dokter. Seorang dokter perempuan yang sudah lumayan
berumur menunggu.
"Anaknya kenapa Bu?" Tanya bu dokter ramah.
"Jalannya
belum lancar Dok, padahal umurnya sudah dua tahun lebih.
“Masih sering jatuh
dan belum bisa melewati gundukan ataupun tangga, kalau mau berdiri harus mencari pegangan sebagai tumpuan dan belum bisa berdiri tanpa berpegangan." Tambahku.
"Umur
berapa mulai bisa jalan?" Tanya dokter itu lagi.
"Umur dua tahun Dok." Jawabku singkat.
"Oke, kita periksa dulu ya.”
Aku dan suami
langsung medekatkan Tama ke dokter.
Dokter langsung memeriksa bagian kaki,
ditekuk-tekuknya pergelangan kaki Tama. Sepertinya pergelangan kaki sangat lentur dan elastis, dokter itu menekuknya
sedemikian rupa. Aku dan suami merasa ngeri dan takut melihatnya.
"Coba Bu suruh jalan anaknya." Pinta dokter
itu.
Aku perlahan menurunkan Tama
ke lantai dan dia mulai berjalan, selangkah dua langkah dia berjalan
dengan gerakan yang masih goyah dan belum kokoh.
"Anak ibu harus menjalani terapi fisik supaya
bisa melatih keseimbangan, kekuatan dan kelancaran berjalannya, nanti Ibu buat
jadwal terapinya di depan". Dokter itu menjelaskan solusi dari masalah Tama.
Ada satu perkataan dokter itu yang sampai
sekarang masih membekas di hatiku. Dia mengatakan bahwa Tama tidak akan bisa
berlari nantinya, saat itu aku tidak terlalu memusingkan hal tersebut.
"Tidak apa-apa kalau memang putraku tidak bisa
berlari, bukan masalah besar."
Pikirku menenangkan perasaanku sendiri.
Seperti kata penyanyi Whitney Houston, “There can be miracles, when you believe.
Keajaiban itu memang ada, jika kau percaya.” Allah berkehendak lain dan ternyata, sekarang putra
kecilku sudah mampu berlari kencang, bahkan terkadang aku dan suami kewalahan mengejarnya.
Keajaiban kecil yang dialami anakku merupakan pelajaran
berharga yang kupetik dari kejadian
ini, bahwa logika manusia kadang tidak
sempurna dan semua yang terjadi merupakan takdir Sang Penguasa bumi.
Aku tidak akan
pernah menyerah apalagi putus asa dengan semua masalah yang terjadi, tetap sabar
dan semangat dalam menjalaninya. Lakukan usaha terbaik yang bisa dilakukan dan serahkan
hasilnya kepada Allah SWT.
Rasanya memang sakit dan berat tapi kita harus tetap
bertahan dan jangan pernah menyerah. Balik
lagi semua kembali kepada takdir, amorpati.
Hari itu kami langsung menentukan jadwal terapi, ada
dua terapi yang harus dijalani; wicara dan
fisik. Kami dan terapisnya sepakat jadwal dibuat tiga kali seminggu; Senin, Rabu dan
Sabtu.
Rutinitas baru yang menguras tenaga, emosi dan biaya. Aku juga
harus mengatur ulang jadwal mengajarku di sekolah supaya tidak berbenturan dengan jadwal
terapi.
Dua bulan awal terapi, tidak semulus bayanganku, Tama
selalu menangis dan berontak saat sesi terapi wicara berlangsung. Dia tidak mau
masuk ruangan dan menjerit sepanjang sesi terapi.
Tidak ada hasil yang diperoleh karena memang untuk
terapi wicara dia belum bisa diajarkan apa-apa. Dia hanya menangis dan
menangis. Alhamdulillah masuk bulan ke
tiga, anak kesayanganku itu mulai tenang dan dengan suka rela masuk ke ruang
terapi tanpa menangis.
Sebelum masuk ke ruang terapi wicara Tama selalu
diajak menuju ruang terapi fisik, di
ruangan itu banyak permainan,
untuk pengamanan seluruh lantai dipasang matras berwarna.
Biasanya Tama dipijit, berjalan di atas titian,
dimasukan ayunan kemudian diputar-putar, berjalan di tangga, badannya diletakkan di atas
bola besar telungkup dan telentang
sambil melakukan gerakan khusus. Terapi tersebut untuk melatih saraf
motorik dan sensorik supaya bisa fokus
dan beraktivitas seperti anak-anak pada umumnya.
Alhamdulillah, menjalani terapi fisik Tama tidak ada masalah, dia
selalu nurut dan kelihatan pasrah, saat dijemput oleh petugas terapisnya sejak awal. Ibu
Lala, terapis anakku yang sangat baik. Dia sosok
penyayang dan lembut, Tama mungkin menyukai karakternya sehingga dia dengan
suka rela mau melakukan terapi.
Kurang lebih 2 tahun kami menjalani aktivitas terapi
ini, bolak-balik dari rumah ke Muara Enim tiga kali seminggu dengan membawa
anak berkebutuhan khusus yang suasana hatinya mudah sekali berubah-ubah.
Banyak tantangan dan berat sekali pejuangannya,
apalagi jika dibandingkan dengan hasil terapis yang terkadang belum nampak
kemajuannya, saat itu terjadi ada rasa lelah yang menyelimuti pikiran ini.
Kesabaran pun berbuah manis, Anak kesayanganku mulai berjalan
dengan baik dan sudah perlahan bisa naik turun tangga, walaupun untuk berbicara
belum tampak signifikan kemajuannya
Setelah Tama berumur 4 tahun lebih kami menemukan
tempat terapi serupa di Prabumulih, tetapi tempat ini merupakan yayasan swasta
dan jarak tempuhnya hanya 45 menit dari rumahku.
Dengan berbagai pertimbangan yang matang tentunya, kami memutuskan memindahkan terapi dari pusat terapi di
kota Muara Enim ke sebuah yayasan terapi swasta di kota
Prabumulih.
Alhamdulillah, Allah menganugerahkan satu kemudahan lagi
kepada kami dengan ditemukannya tempat terapi yang lebih dekat.
“Ayah dan bunda, berat
rasanya menjalani hidup sebagai anak berkebutuhan khusus,
seandainya aku diciptakan menjadi mereka belum tentu aku sanggup menjalaninya.
Mereka tidak bisa memilih hidup sesuai kemauannya, jika mereka boleh memilih, pastilah
mereka memilih menjadi anak yang normal,
sempurna dan cerdas.
Perjuangan hidup ABK sangatlah berat, perlu dukungan
dan perhatian lebih dari lingkungan dan orang-orang dewasa di sekitarnya.
Teruntuk Tama putra kami tercinta: “Teruslah
berjuang Nak, jangan pernah menyerah. Raihlah masa depanmu dengan
kecerian dan keikhlasan, perjuanganmu di dunia ini memanglah berat tapi percayalah
Tuhan telah menyiapkan kado termanis di sana.”
Peluk hangat
untuk Tama dari ayah dan ibu.
***